Angkutan Kota (Angkot)
Ketika
berada di dalam angkot, mata saya selalu sibuk memperhatikan penumpang lain. Ada
penumpang yang berpakaian rapi tetapi dia seorang pencopet walaupun tidak
semuanya orang yang rapi itu pencopet, buktinya saya nyaris kecopetan saat
duduk di bangku SMP namun untunglah cepat tersadar karena saya merasa ada tangan
yang masuk ke dalam tas saya.
Ada
lagi penumpang seorang pria berpakaian layaknya seorang wanita. Pria itu duduk
termenung di pojok angkot, dari raut wajahnya terlihat sepertinya ia sedang
memikirkan sesuatu. Saya menerka kemungkinan besar pria itu terpaksa melakukan
pekerjaan tersebut untuk membiayai keluarganya.
Namun
yang paling berkesan selama berada di dalam angkot adalah ketika saya bertemu
dengan seorang kakek. Saya bertemu dengan kakek itu tiga tahun yang lalu
ketika saya dan teman saya Rida pergi ke sebuah cafe yang terletak di Subang,
Jawa Barat.
Saya
dan Rida menaiki angkot jurusan Subang-Pagaden di Pujasera. Jaraknya lumayan
dekat kurang lebih 3 km, saat
mengetem untuk mengatasi kebosanan
saya dan Rida mengobrol ngaler-ngidul
namun karena belum penuh angkot itu enggan untuk berangkat. Ketika sedang asyik
mengobrol, tiba-tiba ada seorang kakek yang naik dan duduk tepat berada di
depan saya. Tak lama kemudian angkot pun melaju dengan tenangnya.
Saya
memperhatikan kakek yang duduk di depan saya tadi. Terlihat pakaian kakek itu
begitu lusuh dengan memakai celana panjang berwarna hitam, kaos panjang yang
terpasang gambar salah satu partai, dan handuk yang melingkar dilehernya.
Ditangannya terlihat ia sedang menjinjing karung yang berisi beberapa ikat sapu
lidi, saya kembali menerka bahwa ia adalah seorang pedagang. Saya memandang
wajahnya yang penuh dengan kerutan, perlahan kakek itu menatap saya dan Rida.
“Neng,
masih kuliah?” kakek itu tiba-tiba bertanya kepada saya dan Rida.
“Sudah
kerja Kek.” Saya terlonjak kaget, kenapa kakek ini tiba-tiba bertanya?
Jangan-jangan kakek ini adalah seorang copet angkot.
“Kerja apa?” kakek itu membuyarkan lamunan
saya.
“Saya
seorang guru, kalau ini teman saya Rida bekerja di sebuah perusahaan.” Saya
mulai menjelaskan profesi saya dan teman saya, namun tetap waspada.
“Kakek
kalau punya anak, mau dikuliahkan jadi dokter.” Wajah kakek itu terlihat muram
seakan menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Terus
sekarang anak Kakek dimana?” tanya Rida penasaran.
“Kakek
tidak punya anak Neng, usia Kakek sekarang sudah 100 tahun lebih.”
“Hah?
100 tahun lebih Kek?” Saya dan Rida bertatapan.
Glek! Saya
menelan ludah, tak disangka kakek ini usianya lebih dari satu abad. Padahal
jika dilihat dari fisik kakek ini masih segar bugar seperti berumur tujuh puluh
tahunan, perkiraan saya mungkin karena kakek ini giat bekerja sehingga terlihat
lebih muda.
“Iya
Neng, sekarang Kakek tinggal sendirian.” Kakek itu kembali bercerita, wajahnya
kembali sedih.
“Sabar
ya Kek, sekarang Kakek mau kemana?” tanya saya penasaran.
“Ke
pasar Pagaden Neng, mau berjualan sapu lidi ini.” Kakek itu menunjuk isi karung
yang berada di depannya.
“Wah
Kakek hebat, walaupun sudah berumur tapi tetap semangat kerja.” Bola mata saya
menatap wajah kakek itu.
“Hatur nuhun Neng, Kakek pasti bahagia
jika punya anak seperti kalian.” Kakek itu tersenyum.
“Kiri
Mang, depan Cafe Dealova ya.” Tiba-tiba Rida memberhentikan angkot.
Saking
asyiknya mengobrol dengan kakek itu, saya tidak memperhatikan jalan. Untunglah
Rida tidak terlalu fokus pada pembicaraan kami. Sebenarnya masih ingin mengobrol
dengan kakek itu tapi mau tidak mau kami harus berpisah.
“Kakek
saya duluan, hati-hati ya Kek.” Saya dan Rida berpamitan.
“Iya
Neng, mangga.”
Sesampainya
di Caffe Dealova sudah terlihat teman geng masa SMA saya. Ada Viola yang
bermata sipit, Laura yang berlesung pipit, Amel yang berhidung mancung, dan Keyla yang bermata bulat. Tak
terasa sudah enam tahun kami tidak pernah bertemu. Kami memberi nama geng kami
dengan sebutan “Princess” karena kami berharap bisa seperti putri Disney yang
bahagia selamanya.
Kami
berenam kemudian memesan makanan. Namun otak saya masih memikirkan kakek di
angkot tadi. Ada satu hal yang saya bisa petik dari peristiwa tadi, ternyata
hidup beratus-ratus tahun pun jika kita tidak hidup bersama dengan orang yang
kita sayangi, tidak bisa menjamin orang itu bisa merasakan kebahagian. Mungkin
kita harus banyak bersyukur masih bisa hidup ditengah orang-orang yang kita
sayangi dan menyayangi kita.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda