Cerpen 2017
Cerpen ini terinspirasi dari seseorang yang sangat menyayangi ibunya dan pantang menyerah dalam mengejar mimpinya. Dan cerpen ini pula yang telah mewujudkan impian saya mendapatkan sebuah piala untuk pertama kalinya.
Dank je wel ^_^
Senyuman
Ibu
Oleh : Suci Puji Astuti
Derap
langkah Andre terasa berat meninggalkan Ibu dan adik perempuannya. Ia menatap
bola mata ibunya yang basah, ingin sekali Andre mengembalikan senyum ibunya
yang hilang semenjak ayahnya tiada. Namun sekarang ia harus rela
meninggalkannya karena ia mendapatkan beasiswa magister di Belanda.
Perlahan
Andre mengusap air mata ibunya, ia berusaha terlihat tegar. Kemudian memeluknya
dengan erat. Sebenarnya Andre merasa egois, karena seharusnya ia menjaga ibu
dan adiknya. Namun ini kesempatan terbaik yang diberikan Tuhan agar ia bisa
mengubah kondisi ekonomi keluarganya.
“Sudahlah
Bu, jangan menangis terus.” Andre melepaskan pelukannya. “Aku berjanji akan
mengembalikan senyuman Ibu.”
“Jaga
dirimu baik-baik.” Ibu mengusap rambut Andre.
“Ibu
tidak usah khawatir, selama di Belanda aku akan berjuang menjadi orang sukses!”
Andre
tersenyum meyakinkan ibunya, ia menghampiri Nurul yang berada disamping ibunya.
Anak perempuan manis berusia lima belas tahun menatap ke arah Andre. Kemudian
memeluk kakak kesayangannya.
“Kak,
aku tidak mau kakak pergi.”
“Kakak
pergi hanya dua tahun, selama itu pula kamu harus berjanji pada kakak untuk
menjaga ibu ya.”
Nurul
mengangguk, kemudian Andre melepaskan pelukan Nurul dan mengusap air matanya. Sebentar
lagi pesawat tujuan Jakarta - Amsterdam akan segera berangkat, ia beranjak
pergi mendorong kopernya dan melambaikan tangan kepada Ibu dan adiknya. Semakin
lama semakin jauh, Andre benar-benar tidak kuat menahan air matanya yang jatuh
perlahan.
***
Udara
musim semi di Belanda menyambut kedatangan Andre. Di sepanjang jalan dari
Amsterdam menuju Enschede terlihat bunga tulip yang bermekaran. Andre tidak
percaya bisa menginjakkan kakinya di Benua Biru ini. Sampailah Andre di sebuah
apartemen bertingkat khusus mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Belanda. Kamar
Andre ada di lantai tiga menghadap ke arah barat sehingga terlihat pemandangan
Universitas Twente yang luas.
Andre memiliki sahabat bernama Jodi, lelaki
bertubuh gempal keturunan Tionghoa yang merupakan teman sekamar Andre. Di malam
yang dingin ini mereka berdua saling bertukar cerita, ternyata latarbelakang
keluarga mereka sangat berbeda. Andre adalah tulang punggung keluarga sedangkan
Jodi adalah seorang anak pengusaha kaya. Namun perbedaan ini membuat mereka
saling memahami satu sama lain.
“Jadi
sebenarnya kamu kuliah di sini Ibumu tidak setuju?” Jodi mengerutkan kening
sambil mengunyah roti panggang.
Andre
mengangguk. “Dengan berat hati Ibu melepaskan aku.”
“Baiklah
selama di sini kita harus berjuang keras agar saat kita pulang ke Indonesia
nanti kita bisa menjadi orang sukses!”
“Semangat
untuk kita!” Andre mengepalkan tangannya. “Oh iya Jod apakah di Belanda ada
pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa?”
“Ada
pelayan cafe, flyer penyebar brosur, pekerja panti sosial, dan...” Jodi mencoba
mengingat-ingat.
“Oke,
besok sepulang kuliah aku akan mencari kerja.”
“Aku
ikut!”
“Tidak
usah, bukankah orang tuamu mengirimkan uang setiap bulan?”
“Biarkan
aku belajar mandiri, uang gaji bisa aku pakai untuk keliling Eropa.” Jodi
tersenyum menatap tajam ke arah Andre. “Apa kamu tidak ingin keliling Eropa?”
“Aku
ingin ke stadion Old Trafford di Inggris tapi...”
“Tidak
ada tapi-tapian, ini impian kita berdua harus terwujud.”
“Oke
siap!”
Dari
balik jendela kedua sahabat itu menatap bulan purnama yang begitu sempurna
seolah-olah memberikan mereka semangat baru dan tidak sabar ingin segera
merasakan keajaiban-keajaiban di Negeri Kincir Angin.
Keesokan
harinya Andre dan Jodi berangkat ke kampus dengan mengendarai sepeda. Di
Enschede alat transportasi yang banyak digunakan adalah sepeda karena kota ini
merupakan kota kecil yang berbatasan dengan negara Jerman sehingga jauh dari
hiruk pikuk kota besar.
Andre
dan Jodi mengambil jurusan Natural Resources Management di Faculty of
Geo-Information Science and Earth Observation (ITC). Selama
proses perkuliahan mereka harus menyesuaikan dengan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar perkuliahan. Awal yang berat bagi mereka namun dengan tekad
yang kuat mereka berusaha keras agar bisa melaluinya dengan mudah.
Setelah
pulang kuliah Andre dan Jodi mencari pekerjaan, mereka berkeliling kota
menggunakan sepeda. Sampailah mereka pada sebuah cafe, disana terdapat lowongan
pekerjaan menjadi pramusaji atau di Belanda biasa disebut dengan horeca (Hotel Restaurant Cafe) dengan upah mulai
dari € 13 sekitar Rp 208.000 per jam. Namun bos-bos horeca memperkerjakan
mahasiswa secara serabutan sehingga tidak ada asuransi kecelakaan, akhirnya
mereka pun setuju.
Hari-hari
yang mereka lewati dengan menjadi seorang horeca sepertinya tidak cukup bagi Andre
karena ia harus mengirim uang untuk ibu dan adiknya setiap bulan. Maka ketika
ada orang yang meninggal dunia Andre dengan sigap akan mengangkut peti jenazah
dengan upah yang lumayan besar € 40 sekitar Rp 640.000 dengan waktu bekerja dua
sampai tiga jam. Selain itu jika ada waktu luang, kadang ia pun bekerja menjadi
flyer atau penyebar brosur dengan kostum lucu, upahnya pun lumayan sekitar € 8
- € 16 sekitar Rp 128.000 – Rp 256.000 per jam.
***
Tak
terasa dua tahun menjalani kuliah di negeri Kincir Angin sudah dilalui,
impiannya keliling Eropa pun sudah terwujud. Sekarang wisuda Andre dan Jodi
tinggal mengitung hari sehingga mereka tidak membuang waktunya untuk menikmati
hari-hari terakhir sebelum pulang ke Indonesia.
Seperti
malam ini, Andre dan Jodi duduk disebuah cafe di pinggir danau. Ketika salju
turun mereka berdua mulai bernostalgia mengingat peristiwa-peristiwa yang sudah
mereka lalui bersama. Andre menghela napas panjang, tangannya mengaduk-aduk
coklat panas dihadapannya.
”Jod,
kamu akan melamar kerja kemana? Di Jakarta?”
“Sepertinya
aku akan kembali ke Belanda.” Jodi memandang ke arah Andre. “Memangnya kamu
dimana?”
“Aku
akan bekerja di Subang, sudah lama aku meninggalkan ibu dan adikku mulai
sekarang aku akan selalu berada di sisinya.”
“Apa
kamu tidak tergiur upah di Belanda lebih besar jika menjadi surveyor?”
“Menjadi
seorang pendidik walaupun upahnya kecil tapi bisa mengubah dunia yang nantinya
bisa mengubah masa depan Indonesia menjadi lebih baik lagi.” Nada bicara Andre
begitu menggebu-gebu.
“Ah..itu
sih hanya teori semata, buktinya tidak bisa dipungkiri sekarang nomor satu
adalah uang, uang, dan uang.”
“Namun
aku bangga menjadi pendidik, coba aku tanya padamu jika kamu akan menghancurkan
sebuah negara siapa yang akan kamu tangkap?”
“Siapa
ya? Tentara?”
“Salah!
Jawabannya adalah Guru.”
“Guru?”
Andre
mengangguk. “Karena jika tidak ada guru tidak akan lahir tentara-tentara baru
bahkan dokter-dokter pun tidak ada.”
“Pemikiran
yang tepat sekali tapi kenapa upah guru kecil?”
“Itu
hanya di negara kita saja, buktinya di Jepang dan Korea Selatan upah guru sudah
diatas menteri.”
”Ya
sudah, aku akan bekerja di Korea Selatan saja biar bertemu Yoona SNSD.” Jodi
tertawa lebar.
***
Setelah empat belas jam perjalanan akhirnya Andre
berhasil mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Ia berjalan mencari Ibu dan
Adiknya. Terlihat dua orang perempuan
yang sangat ia sayangi telah menantinya di luar pintu bandara. Andre langsung memeluk
ibunya dan Nurul.
“Akhirnya kamu sampai juga Nak.”
Ibu mencium kening Andre.
“Ibu sehat?”
Ibu mengangguk. “Nurul selalu
menjaga Ibu dengan baik.”
“Aku kan sudah berjanji pada
kakak untuk menjaga Ibu.”
Andre mengelus rambut Nurul.
“Bagus, anak pintar.”
“Yuk kita pulang.” Ibu menoleh ke
arah Andre.
Setelah tiga jam
perjalanan Jakarta-Subang sampailah di sebuah rumah kecil berwarna hijau, namun
ada yang berbeda kali ini di depan rumah Andre sudah berdiri sebuah toko.
Selain itu lahan kosong disebelah rumahnya terdapat sebuah rumah berdinding batu
bata merah dengan cerobong asap layaknya rumah-rumah di luar negeri seperti
rumah impian Andre waktu kecil.
“Ibu membuka toko?”
“Iya Nak, uang kiriman selama dua
tahun ibu pakai untuk biaya sekolah Nurul dan membuka toko kelontong.”Ibu
menghela napas panjang. “Kamu tidak marah kan?”
“Tentu saja tidak Bu.” Andre
tersenyum senang.”Andre bangga punya Ibu yang mandiri.”
“Kak bangga juga tidak sama aku?”
Nurul merengek. “Aku juga selalu membantu Ibu.”
“Tentu saja cantik.”
Andre menarik hidung Nurul, sudah lama sekali ia tidak bercanda dengan adik
semata wayangnya itu. “Oh iya Bu, rumah baru disebelah rumah kita milik siapa?
Bangunannya bagus sekali!”
“Kamu suka?” senyum mengembang di
wajah Ibu.”Itu rumahmu Nak.”
“Rumahku?” mata Andre terbelalak,
ia tak percaya dengan apa yang ibu katakan.
“Iya itu rumahmu,
setiap bulan sisa kiriman darimu dan keuntungan dari toko Ibu tabung untuk
membangun rumah impianmu karena ibu tidak mau kamu pergi lagi.” Air mata ibu
kembali membasahi pipinya.
“Ibu terima kasih untuk semuanya, aku janji
tidak akan meninggalkan Ibu dan Nurul lagi.”
Perasaan bergejolak di dalam dada
Andre, ia tak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. sekali lagi ia
memeluk erat Ibunya. Betapa mulianya hati ibu, ia tidak menyangka mendapatkan
kado terindah saat kembali ke Indonesia. Dengan melihat Ibu dan Nurul sehat dan
hidup bahagia itu sudah cukup baginya.
Tiba-tiba suara handphone berdering di dalam kantong
jaket Andre, dari balik layar terlihat Pak Prasetyo meneleponnya. Ia adalah salah
satu dosennya saat S1dulu. Andre pergi menjauh untuk mengobrol dengannya, tak
lama kemudian ia kembali dengan wajah ceria terlihat gigi gingsulnya yang
membuat ia semakin manis.
“Ibu, besok aku sudah mulai bisa
menjadi dosen di kampus.”
“Selamat ya Nak, sekarang
wujudkanlah cita-citamu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”
“Wah, kakak semangat ya!”
Andre tersenyum
menatap dua orang perempuan yang ia sayangi dan selalu menjadi penyemangat
untuknya. Dan yang terpenting saat ini, akhirnya ia bisa mengembalikan senyuman
ibu yang hilang.