Senin, 27 Agustus 2018

Cerpen 2017

Cerpen ini terinspirasi dari seseorang yang sangat menyayangi ibunya dan pantang menyerah dalam mengejar mimpinya. Dan cerpen ini pula yang telah mewujudkan impian saya mendapatkan sebuah piala untuk pertama kalinya.
Dank je wel ^_^



Senyuman Ibu
Oleh : Suci Puji Astuti

Derap langkah Andre terasa berat meninggalkan Ibu dan adik perempuannya. Ia menatap bola mata ibunya yang basah, ingin sekali Andre mengembalikan senyum ibunya yang hilang semenjak ayahnya tiada. Namun sekarang ia harus rela meninggalkannya karena ia mendapatkan beasiswa magister di Belanda.
Perlahan Andre mengusap air mata ibunya, ia berusaha terlihat tegar. Kemudian memeluknya dengan erat. Sebenarnya Andre merasa egois, karena seharusnya ia menjaga ibu dan adiknya. Namun ini kesempatan terbaik yang diberikan Tuhan agar ia bisa mengubah kondisi ekonomi keluarganya.
“Sudahlah Bu, jangan menangis terus.” Andre melepaskan pelukannya. “Aku berjanji akan mengembalikan senyuman Ibu.”
“Jaga dirimu baik-baik.” Ibu mengusap rambut Andre.
“Ibu tidak usah khawatir, selama di Belanda aku akan berjuang menjadi orang sukses!”
Andre tersenyum meyakinkan ibunya, ia menghampiri Nurul yang berada disamping ibunya. Anak perempuan manis berusia lima belas tahun menatap ke arah Andre. Kemudian memeluk kakak kesayangannya.
“Kak, aku tidak mau kakak pergi.”
“Kakak pergi hanya dua tahun, selama itu pula kamu harus berjanji pada kakak untuk menjaga ibu ya.”
Nurul mengangguk, kemudian Andre melepaskan pelukan Nurul dan mengusap air matanya. Sebentar lagi pesawat tujuan Jakarta - Amsterdam akan segera berangkat, ia beranjak pergi mendorong kopernya dan melambaikan tangan kepada Ibu dan adiknya. Semakin lama semakin jauh, Andre benar-benar tidak kuat menahan air matanya yang jatuh perlahan.
 ***

Udara musim semi di Belanda menyambut kedatangan Andre. Di sepanjang jalan dari Amsterdam menuju Enschede terlihat bunga tulip yang bermekaran. Andre tidak percaya bisa menginjakkan kakinya di Benua Biru ini. Sampailah Andre di sebuah apartemen bertingkat khusus mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Belanda. Kamar Andre ada di lantai tiga menghadap ke arah barat sehingga terlihat pemandangan Universitas Twente yang luas.
 Andre memiliki sahabat bernama Jodi, lelaki bertubuh gempal keturunan Tionghoa yang merupakan teman sekamar Andre. Di malam yang dingin ini mereka berdua saling bertukar cerita, ternyata latarbelakang keluarga mereka sangat berbeda. Andre adalah tulang punggung keluarga sedangkan Jodi adalah seorang anak pengusaha kaya. Namun perbedaan ini membuat mereka saling memahami satu sama lain.
“Jadi sebenarnya kamu kuliah di sini Ibumu tidak setuju?” Jodi mengerutkan kening sambil mengunyah roti panggang.
Andre mengangguk. “Dengan berat hati Ibu melepaskan aku.”
“Baiklah selama di sini kita harus berjuang keras agar saat kita pulang ke Indonesia nanti kita bisa menjadi orang sukses!”
“Semangat untuk kita!” Andre mengepalkan tangannya. “Oh iya Jod apakah di Belanda ada pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa?”
“Ada pelayan cafe, flyer penyebar brosur, pekerja panti sosial, dan...” Jodi mencoba mengingat-ingat.
“Oke, besok sepulang kuliah aku akan mencari kerja.”
“Aku ikut!”
“Tidak usah, bukankah orang tuamu mengirimkan uang setiap bulan?”
“Biarkan aku belajar mandiri, uang gaji bisa aku pakai untuk keliling Eropa.” Jodi tersenyum menatap tajam ke arah Andre. “Apa kamu tidak ingin keliling Eropa?”
“Aku ingin ke stadion Old Trafford di Inggris tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian, ini impian kita berdua harus terwujud.”
“Oke siap!”
Dari balik jendela kedua sahabat itu menatap bulan purnama yang begitu sempurna seolah-olah memberikan mereka semangat baru dan tidak sabar ingin segera merasakan keajaiban-keajaiban di Negeri Kincir Angin.
***  

Keesokan harinya Andre dan Jodi berangkat ke kampus dengan mengendarai sepeda. Di Enschede alat transportasi yang banyak digunakan adalah sepeda karena kota ini merupakan kota kecil yang berbatasan dengan negara Jerman sehingga jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Andre dan Jodi mengambil jurusan Natural Resources Management di Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation (ITC). Selama proses perkuliahan mereka harus menyesuaikan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan. Awal yang berat bagi mereka namun dengan tekad yang kuat mereka berusaha keras agar bisa melaluinya dengan mudah.
Setelah pulang kuliah Andre dan Jodi mencari pekerjaan, mereka berkeliling kota menggunakan sepeda. Sampailah mereka pada sebuah cafe, disana terdapat lowongan pekerjaan menjadi pramusaji atau di Belanda biasa disebut dengan horeca (Hotel Restaurant Cafe) dengan upah mulai dari € 13 sekitar Rp 208.000 per jam. Namun bos-bos horeca memperkerjakan mahasiswa secara serabutan sehingga tidak ada asuransi kecelakaan, akhirnya mereka pun setuju.
Hari-hari yang mereka lewati dengan menjadi seorang horeca sepertinya tidak cukup bagi Andre karena ia harus mengirim uang untuk ibu dan adiknya setiap bulan. Maka ketika ada orang yang meninggal dunia Andre dengan sigap akan mengangkut peti jenazah dengan upah yang lumayan besar € 40 sekitar Rp 640.000 dengan waktu bekerja dua sampai tiga jam. Selain itu jika ada waktu luang, kadang ia pun bekerja menjadi flyer atau penyebar brosur dengan kostum lucu, upahnya pun lumayan sekitar € 8 - € 16 sekitar Rp 128.000 – Rp 256.000 per jam.
Andre tak pernah mengeluh walaupun ia bekerja lebih keras dari Jodi, kadang untuk mengatasi saldo negatif Andre bisa mengeluarkan kartu mahasiswa saat berkunjung ke toko buku, bioskop, toko baju, teater, atau pun museum sehingga mendapatkan diskon 10% - 15%. Selain itu untuk berhemat Andre lebih memilih membeli buku kuliah bekas dari kakak tingkatnya.
 ***

Tak terasa dua tahun menjalani kuliah di negeri Kincir Angin sudah dilalui, impiannya keliling Eropa pun sudah terwujud. Sekarang wisuda Andre dan Jodi tinggal mengitung hari sehingga mereka tidak membuang waktunya untuk menikmati hari-hari terakhir sebelum pulang ke Indonesia.
Seperti malam ini, Andre dan Jodi duduk disebuah cafe di pinggir danau. Ketika salju turun mereka berdua mulai bernostalgia mengingat peristiwa-peristiwa yang sudah mereka lalui bersama. Andre menghela napas panjang, tangannya mengaduk-aduk coklat panas dihadapannya.
”Jod, kamu akan melamar kerja kemana? Di Jakarta?”
“Sepertinya aku akan kembali ke Belanda.” Jodi memandang ke arah Andre. “Memangnya kamu dimana?”
“Aku akan bekerja di Subang, sudah lama aku meninggalkan ibu dan adikku mulai sekarang aku akan selalu berada di sisinya.”
“Apa kamu tidak tergiur upah di Belanda lebih besar jika menjadi surveyor?”
“Menjadi seorang pendidik walaupun upahnya kecil tapi bisa mengubah dunia yang nantinya bisa mengubah masa depan Indonesia menjadi lebih baik lagi.” Nada bicara Andre begitu menggebu-gebu.
“Ah..itu sih hanya teori semata, buktinya tidak bisa dipungkiri sekarang nomor satu adalah uang, uang, dan uang.”
“Namun aku bangga menjadi pendidik, coba aku tanya padamu jika kamu akan menghancurkan sebuah negara siapa yang akan kamu tangkap?”
“Siapa ya? Tentara?”
“Salah! Jawabannya adalah Guru.”
“Guru?”
Andre mengangguk. “Karena jika tidak ada guru tidak akan lahir tentara-tentara baru bahkan dokter-dokter pun tidak ada.”
“Pemikiran yang tepat sekali tapi kenapa upah guru kecil?”
“Itu hanya di negara kita saja, buktinya di Jepang dan Korea Selatan upah guru sudah diatas menteri.”
”Ya sudah, aku akan bekerja di Korea Selatan saja biar bertemu Yoona SNSD.” Jodi tertawa lebar.
Andre tersenyum kemudian ia meneguk coklat panas, rasanya sungguh nikmat. Sedangkan Jodi makan burger dengan lahapnya. Andre menatap Jodi, setelah berpisah dengan Jodi pasti ia akan sangat merindukannya.
 ***

Setelah  empat belas jam perjalanan akhirnya Andre berhasil mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Ia berjalan mencari Ibu dan Adiknya.  Terlihat dua orang perempuan yang sangat ia sayangi telah menantinya di luar pintu bandara. Andre langsung memeluk ibunya dan Nurul.
“Akhirnya kamu sampai juga Nak.” Ibu mencium kening Andre.
“Ibu sehat?”
Ibu mengangguk. “Nurul selalu menjaga Ibu dengan baik.”
“Aku kan sudah berjanji pada kakak untuk menjaga Ibu.”
Andre mengelus rambut Nurul. “Bagus, anak pintar.”
“Yuk kita pulang.” Ibu menoleh ke arah Andre.
Setelah tiga jam perjalanan Jakarta-Subang sampailah di sebuah rumah kecil berwarna hijau, namun ada yang berbeda kali ini di depan rumah Andre sudah berdiri sebuah toko. Selain itu lahan kosong disebelah rumahnya terdapat sebuah rumah berdinding batu bata merah dengan cerobong asap layaknya rumah-rumah di luar negeri seperti rumah impian Andre waktu kecil.
“Ibu membuka toko?”
“Iya Nak, uang kiriman selama dua tahun ibu pakai untuk biaya sekolah Nurul dan membuka toko kelontong.”Ibu menghela napas panjang. “Kamu tidak marah kan?”
“Tentu saja tidak Bu.” Andre tersenyum senang.”Andre bangga punya Ibu yang mandiri.”
“Kak bangga juga tidak sama aku?” Nurul merengek. “Aku juga selalu membantu Ibu.”
“Tentu saja cantik.” Andre menarik hidung Nurul, sudah lama sekali ia tidak bercanda dengan adik semata wayangnya itu. “Oh iya Bu, rumah baru disebelah rumah kita milik siapa? Bangunannya bagus sekali!”
“Kamu suka?” senyum mengembang di wajah Ibu.”Itu rumahmu Nak.”
“Rumahku?” mata Andre terbelalak, ia tak percaya dengan apa yang ibu katakan.
“Iya itu rumahmu, setiap bulan sisa kiriman darimu dan keuntungan dari toko Ibu tabung untuk membangun rumah impianmu karena ibu tidak mau kamu pergi lagi.” Air mata ibu kembali membasahi pipinya.
 “Ibu terima kasih untuk semuanya, aku janji tidak akan meninggalkan Ibu dan Nurul lagi.”
Perasaan bergejolak di dalam dada Andre, ia tak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. sekali lagi ia memeluk erat Ibunya. Betapa mulianya hati ibu, ia tidak menyangka mendapatkan kado terindah saat kembali ke Indonesia. Dengan melihat Ibu dan Nurul sehat dan hidup bahagia itu sudah cukup baginya.
Tiba-tiba suara handphone berdering di dalam kantong jaket Andre, dari balik layar terlihat Pak Prasetyo meneleponnya. Ia adalah salah satu dosennya saat S1dulu. Andre pergi menjauh untuk mengobrol dengannya, tak lama kemudian ia kembali dengan wajah ceria terlihat gigi gingsulnya yang membuat ia semakin manis.
“Ibu, besok aku sudah mulai bisa menjadi dosen di kampus.”
“Selamat ya Nak, sekarang wujudkanlah cita-citamu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”
“Wah, kakak semangat ya!”
Andre tersenyum menatap dua orang perempuan yang ia sayangi dan selalu menjadi penyemangat untuknya. Dan yang terpenting saat ini, akhirnya ia bisa mengembalikan senyuman ibu yang hilang.