Rabu, 10 Januari 2018

Angkutan Kota (Angkot)

Ketika berada di dalam angkot, mata saya selalu sibuk memperhatikan penumpang lain. Ada penumpang yang berpakaian rapi tetapi dia seorang pencopet walaupun tidak semuanya orang yang rapi itu pencopet, buktinya saya nyaris kecopetan saat duduk di bangku SMP namun untunglah cepat tersadar karena saya merasa ada tangan yang masuk ke dalam tas saya.
Ada lagi penumpang seorang pria berpakaian layaknya seorang wanita. Pria itu duduk termenung di pojok angkot, dari raut wajahnya terlihat sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Saya menerka kemungkinan besar pria itu terpaksa melakukan pekerjaan tersebut untuk membiayai keluarganya.
Namun yang paling berkesan selama berada di dalam angkot adalah ketika saya bertemu dengan seorang kakek. Saya bertemu dengan kakek itu tiga tahun yang lalu ketika saya dan teman saya Rida pergi ke sebuah cafe yang terletak di Subang, Jawa Barat.
Saya dan Rida menaiki angkot jurusan Subang-Pagaden di Pujasera. Jaraknya lumayan dekat kurang lebih 3 km, saat mengetem untuk mengatasi kebosanan saya dan Rida mengobrol ngaler-ngidul namun karena belum penuh angkot itu enggan untuk berangkat. Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada seorang kakek yang naik dan duduk tepat berada di depan saya. Tak lama kemudian angkot pun melaju dengan tenangnya.
Saya memperhatikan kakek yang duduk di depan saya tadi. Terlihat pakaian kakek itu begitu lusuh dengan memakai celana panjang berwarna hitam, kaos panjang yang terpasang gambar salah satu partai, dan handuk yang melingkar dilehernya. Ditangannya terlihat ia sedang menjinjing karung yang berisi beberapa ikat sapu lidi, saya kembali menerka bahwa ia adalah seorang pedagang. Saya memandang wajahnya yang penuh dengan kerutan, perlahan kakek itu menatap saya dan Rida.
“Neng, masih kuliah?” kakek itu tiba-tiba bertanya kepada saya dan Rida.
“Sudah kerja Kek.” Saya terlonjak kaget, kenapa kakek ini tiba-tiba bertanya? Jangan-jangan kakek ini adalah seorang copet angkot.
 “Kerja apa?” kakek itu membuyarkan lamunan saya.
“Saya seorang guru, kalau ini teman saya Rida bekerja di sebuah perusahaan.” Saya mulai menjelaskan profesi saya dan teman saya, namun tetap waspada.
“Kakek kalau punya anak, mau dikuliahkan jadi dokter.” Wajah kakek itu terlihat muram seakan menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Terus sekarang anak Kakek dimana?” tanya Rida penasaran.
“Kakek tidak punya anak Neng, usia Kakek sekarang sudah 100 tahun lebih.”
“Hah? 100 tahun lebih Kek?” Saya dan Rida bertatapan.
Glek! Saya menelan ludah, tak disangka kakek ini usianya lebih dari satu abad. Padahal jika dilihat dari fisik kakek ini masih segar bugar seperti berumur tujuh puluh tahunan, perkiraan saya mungkin karena kakek ini giat bekerja sehingga terlihat lebih muda.
“Iya Neng, sekarang Kakek tinggal sendirian.” Kakek itu kembali bercerita, wajahnya kembali sedih.
“Sabar ya Kek, sekarang Kakek mau kemana?” tanya saya penasaran.
“Ke pasar Pagaden Neng, mau berjualan sapu lidi ini.” Kakek itu menunjuk isi karung yang berada di depannya.
“Wah Kakek hebat, walaupun sudah berumur tapi tetap semangat kerja.” Bola mata saya menatap wajah kakek itu.
Hatur nuhun Neng, Kakek pasti bahagia jika punya anak seperti kalian.” Kakek itu tersenyum.
“Kiri Mang, depan Cafe Dealova ya.” Tiba-tiba Rida memberhentikan angkot.
Saking asyiknya mengobrol dengan kakek itu, saya tidak memperhatikan jalan. Untunglah Rida tidak terlalu fokus pada pembicaraan kami. Sebenarnya masih ingin mengobrol dengan kakek itu tapi mau tidak mau kami harus berpisah.
“Kakek saya duluan, hati-hati ya Kek.” Saya dan Rida berpamitan.
“Iya Neng, mangga.
Sesampainya di Caffe Dealova sudah terlihat teman geng masa SMA saya. Ada Viola yang bermata sipit, Laura yang berlesung pipit, Amel yang berhidung mancung, dan Keyla yang bermata bulat. Tak terasa sudah enam tahun kami tidak pernah bertemu. Kami memberi nama geng kami dengan sebutan “Princess” karena kami berharap bisa seperti putri Disney yang bahagia selamanya.

Kami berenam kemudian memesan makanan. Namun otak saya masih memikirkan kakek di angkot tadi. Ada satu hal yang saya bisa petik dari peristiwa tadi, ternyata hidup beratus-ratus tahun pun jika kita tidak hidup bersama dengan orang yang kita sayangi, tidak bisa menjamin orang itu bisa merasakan kebahagian. Mungkin kita harus banyak bersyukur masih bisa hidup ditengah orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda